"Di tempat-tepat yang tergolong hening, di gunung-gunung dan pertemuan dua sungai, di sanalah orang bijak (viprah) mendapatkan pemikiran yang jernih"
(Rgveda VIII.6.28)
Kami memilih untuk mencoba Jalur Danau Beratan. Pendakian dimulai dari parkir Objek Wisata Water Sport Danau Beratan. Masuk dari gerbang lurus terus melewati parkir sampai di warung terakhir di sebelah jembatan.
Sepanjang jalur pendakian kami menikmati pemandangan khas hutan Tropis, Pohon-pohon Raksasa yang berusia ratusan tahun dan warna-warni buah-buahan hutan.
Kebetulan saat kami mendaki di akhir bulan Desember, yang artinya musim hujan lagi pada puncaknya. Untung saja selama perjalanan naik kami terhindar dari hujan, padahal kami sudah cemas karena mendung dan kabut sangat tebal.
Jalur Danau Beratan memiliki 5 Pos pendakian, setiap pos bisa memiliki bentuk bangunan yang hampir mirip dan lokasinya disebelah kiri jalur naik,kecuali Pos 4 yang posisinya ditengah Jalur.
Perjalanan dari Pos 1 sampai Pos 5 bisa dibilang sangat cocok untuk kegiatan FUN TREKKING. Jalur yang landai dan jelas,sesekali kami menemukan jalur yang sudah dipermak menjadi tangga beton.
Jarak tiap Pos kami lalui sekitar 15 sd 25 menit perjalanan. Pendakian yang sesungguhnya dimulai dari Pos 5 sampai Puncak. Jalur kombinasi antara tebing hutan, tangga akar, pohon tumbang, dan goa alang-alang menjadikan jalur ini sebagai jalur mendaki yang menantang.
Mendekati Puncak kami disambut oleh habitat asli Pucak Mangu, yaitu segerombolan Monyet abu-abu, yang untung saja tidak nakal dan galak. Akhirnya kami sampai di Pura Pucak Mangu, yang juga berarti Puncak dari Gunung Catur.
Sesampai di Puncak kami disambut oleh guyuran hujan lebat dan kabut tebal, untung saja kami dapat berteduh di Wantilan Pura (bangunan serbaguna). Dari puncak pemandangan yang disajikan sangatlah indah dan spektakuler, Barisan perbukitan hijau diapit oleh danau yang biru.
Dua jam hampir kami di Puncak, menikmati pemandangan dan hujan. Jalur turun kami melewati jalur yang sama dengan jalur naik.
Sejarah Pucak Mangu :
Pura Pucak Mangu mungkin sudah ada sejak zaman budaya
megalitikum berkembang di Bali dengan bukti diketemukannya peninggalan Lingga
yang cukup besar. Di tempat inilah I Gusti Agung Putu, pendiri Kerajaan Mengwi,
melakukan tapa brata mencari keheningan pikiran setelah kalah dalam perang
tanding.
I Gusti Agung Putu pun menemukan jati dirinya dan bangkit
lagi dari kekalahannya, terus dapat meraih kemenangan sampai dapat mendirikan
Kerajaan Mengwi. Di tempat I Gst. Agung Putu bertapa brata itulah Pura Pucak
Mangu kembali dipugar dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan umat Hindu yang
terus berkembang.
Puncak Gunung Mangu ini memang sangat hening untuk melakukan
tapa brata untuk perenungkan diri seperti yang pernah dilakukan oleh I Gst.
Agung Putu. Menurutnya, kegagalan bukan untuk disesalkan dan berputus asa,
tetapi untuk dijadikan pengalaman serta diambil hikmahnya untuk pelajaran diri
selanjutnya. Dengan cara itulah kegagalan dapat diubah menjadi awal kesuksesan.
Dalam peta Pulau Bali nama Gunung Mangu hampir tidak
dikenal. Mungkin karena Gunung Mangu ini tidak begitu tinggi. Namun kalau kita
baca lontar tentang Pura Kahyangan Jagat nama Gunung Mangu ini akan mudah diketemukan.
Nama Gunung Mangu ini disebutkan dalam Lontar Babad Mengwi. Leluhur Raja Mengwi
yang bernama I Gusti Agung Putu kalah secara kesatria dalam pertempuran melawan
I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dari Puri Kekeran.
Karena kalah I Gusti Agung Putu ditawan dan diserahkan
kepada I Gst. Ngurah Tabanan sebagai tawanan perang. Oleh seorang patih dari
Marga bernama I Gusti Bebalang meminta kepada I Gusti Ngurah Tabanan agar
dibolehkan mengajak I Gusti Agung Putu ke Marga. Setelah di Marga inilah timbul
niatnya I Gusti Agung Putu ingin membalas kekalahannya dengan cara-cara kestria
kepada I Gusti Ngurah Batu Tumpeng.
Sebelum membalas kekalahannya, I Gusti Agung Putu terlebih
dahulu bertapa di puncak Gunung Mangu tempat Pura Pucak Mangu sekarang. Di
puncak Gunung Mangu inilah I Gusti Agung Putu mendapat pawisik keagamaan dengan
kekuatan magis religius. Setelah itu I Gusti Agung Putu kembali menantang I
Gusti Ngurah Batu Tumpeng bertempur. Berkah hasil tapanya di Gunung Mangu
itulah I Gusti Agung Putu meraih kemenangan melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng
dan musuh-musuhnya yang lain.
Gunung Mangu ini terletak di sebelah timur laut Danau
Beratan. Gunung ini juga bernama Pucak Beratan, Pucak Pengelengan, dan Pucak
Tinggan. Orang dari Desa Beratan menyebut gunung tersebut Pucak Beratan.
Sedangkan orang yang dari Desa Tinggan menyebutnya Pucak Tinggan. Karena umat
di Desa Tinggan-lah yang ngempon aci-aci di Pura Pucak Mangu tersebut.
Nama Pucak Pengelengan menurut penuturan keluarga Raja
Mengwi bahwa saat I Gusti Agung Putu bertapa di Pucak Mangu, Batara Pucak Mangu
menulis (ngerajah) lidahnya. Setelah itu I Gusti Agung Putu disuruh ngelengan
(melihat keseliling). Mana daerah yang dilihat dengan terang itulah nanti
daerah kekuasaannya. Karena itulah Pucak Mangu ini juga disebut Pucak
Pengelengan.
Pura Pucak Mangu memiliki dua Pura Penataran yaitu Pura Ulun
Danu Beratan didirikan oleh I Gusti Agung Putu yang berada di sebelah barat
Gunung Mangu dan Pura Penataran Agung Tinggan di sebelah timur Gunung Mangu
didirikan oleh keturunannya yaitu Cokorda Nyoman Mayun.
Di Pucak Mangu ini terdapat sebuah pura dengan ukuran 14 x
24 meter. Di dalamnya ada beberapa pelinggih dan bangunan yang bernilai sejarah
kepurbakalaan. Yaitu sebuah Lingga, dengan ukuran tinggi 60 cm dan garis tengahnya
30 cm. Bahannya dari batu alam lengkap dengan bentuk segi 4 (Brahma Bhaga),
segi delapan (Wisnu Bhaga) dan bulat panjang (Siwa Bhaga).
Menurut para ahli purba kala, Lingga ini sezaman dengan
dengan Lingga di Pura Candi Kuning. Para ahli memperkirakan penggunaan Linga
dan Candi sebagai media pemujaan di Bali berlangsung dari abad X - XIV. Setelah
abad itu pemujaan di Bali menggunakan bentuk Meru dan Gedong. Kapan tepatnya
Pura Pucak Mangu ini didirikan belum ada prasasti atau sumber lainnya dengan
tegas menyatakannya.
Dari cerita keluarga Raja Mengwi konon ketika I Gusti Agung
Putu akan bersemadi di gunung ini menjumpai kesulitan karena hutannya sangat
lebat. Setelah beliau berusaha ke sana-ke mari lalu beliau mendengar suara
tawon. I Gusti Agung Putu pun menuju suara tawon itu. Ternyata di tempat suara
tawon itu dijumpai reruntuhan pelinggih termasuk Lingga tersebut. Setelah itu
kemungkinan pura ini dipugar oleh I Gusti Agung Putu setelah beliau berhasil
menjadi Raja Mengwi serta mendirikan Pura Penataran-nya di tepi Danau Beratan.
Nampaknya sampai abad XVIII pelinggih utama di Pura Pucak
Mangu adalah Lingga Yoni saja dan bangunan pelengkap lainnya. Setelah
pemerintahan I Gst. Agung Nyoman Mayun yang bergelar Cokorda Nyoman Mayun
melengkapinya dengan pendirian Meru Tumpang Lima linggih Batara Pucak Mangu.
Meru Tumpang Tiga linggih Batara Teratai Bang dan Tepasana tempat Lingga.
Ada juga dibangun Padma Capah sebagai Pengubengan, Pelinggih
Panca Resi yang mempunyai lima ruangan yang menghadap ke empat penjuru dan
sebuah ruangan berada di tengah, dan bangunan lainnya. Menurut Babad Mengwi,
atas perintah Cokorda Nyoman Mayun-lah Pura Penataran Tinggan didirikan tahun
Saka 1752 atau 1830 Masehi. Mungkin zaman dahulu menuju ke Pura Penataran Ulun
Danu Beratan masih sulit karena keadaan alamnya. Hal itulah barang kali
menyebabkan Pura Pucak Tinggan memiliki dua Pura Penataran.
Sampai tahun 1896 saat runtuhnya Kerajaan Mengwi tidak ada
tercatat dalam sejarah bahwa Pura Pucak Mangu direstorasi. Tahun 1927 akibat
gempa yang dhasyat Pura Pucak Mangu ikut runtuh. Pura tersebut baru direstorasi
tahun 1934 - 1935. Tahun 1978 terjadi angin kencang lagi yang merusak pelinggih
dan bangunan lainnya. Pada tahun itu juga pura tersebut direstorasi kembali
Sumber Sejarah : I Ketut Gobyah (http://www.babadbali.com/pura/plan/pucak-mangu.htm)